Rabu, 16 November 2011

hukum pidana 1

Hukum Pidana Indonesia

Pengertian Hukum Pidana

n Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi

n Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar dapat dikenai sanksi pidana

n Menentukan cara bagaimana sanksi itu dapat dikenakan

Jenis Hukum Pidana

n Materiel ~ Formil

n Umum ~ Khusus

n Dikodifikasikan ~ Tidak Dikodifikasikan

n Nasional ~ Lokal

n Tertulis ~ Tidak Tertulis

n Internasional ~ Nasional

n HP Obyektif (ius poenale) ~ HP Subjektif (ius puniendi)

Fungsi Hukum Pidana

Melindungi kepentingan hukum orang/masyarakat/negara dari perbuatan-perbuatan yang hendak menyerangnya, dengan cara mengancam dengan sanksi berupa pidana (=nestapa) bagi orang lain.

Karena demikian, hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium (obat terakhir jika hukum lain tak mampu).

Tujuan Hukum Pidana

n Aliran klasik (Beccaria, JJ Rousseau, Montesquieu): melindungi individu dari kekuasaan penguasa

n Aliran modern: melindungi individu/masyarakat dari kejahatan

Hukum Pidana Materiel di Indonesia

n Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

n Berlaku di Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.

n Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918.

n Sumber lain: UU yang dibuat oleh RI (Korupsi, Lalu Lintas, Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dll)

Sejarah Pembentukan KUHP

Sistematika KUHP

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Asas Nasionalitas Pasif
(Asas Perlindungan)

Hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan yang dilakukan di luar wilayah negara itu, jika kepentingan negara tersebut dilanggar di wilayah negara lain

Asas Nasionalitas Aktif
(Asas Personalitas)

Hukum pidana suatu negara berlaku bagi warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara itu

Asas Universal

Hukum pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di manapun

TP: kejahatan mata uang, perompakan/pembajakan, terorisme

Tindak Pidana

n Harus dibedakan dengan “perbuatan jahat yang terwujud konkret di masyarakat” sebagaimana “perbuatan jahat” (crime) dalam tinjauan kriminologi.

n Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana sebagaimana terwujud abstrak dalam peraturan perundang-undangan

Istilah

n Belanda: strafbaar feit

n Peristiwa pidana (UUDS 1950), perbuatan pidana (UU Drt 1/1951), dan tindak pidana

Unsur-unsur Umum Tindak Pidana

Rumusan Tindak Pidana

n Tindak pidana harus dirumuskan (baik tertulis maupun tidak tertulis) sebagai pelaksanaan asas legalitas.

n Sanksi pidana dapat dijatuhkan karena adanya perbuatan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang. Oleh karena itu, perbuatan apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan harus dapat diketahui secara pasti.

à melarang “pasal karet” spt UU 11/1963 tentang Subversi, 281 (Jan Remmelink)

Perumusan Unsur Tindak Pidana
dalam Peraturan Pidana

n Menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatannya (misal: 281, 305)

n Hanya menyebut kualifikasi delik, tanpa menyebut unsur-unsurnya (misal: 297, 351)

n Menyebutkan unsur-unsur dan kualifikasi deliknya (misal: 338, 362, 372, 378)

Penempatan Norma dan Sanksi

n Sekaligus jadi satu

n Dipisah

n Sanksi dijatuhkan lebih dahulu, sedangkan norma belum ditentukan (122 ke-2)

Normentheorie (oleh Binding)

n Norma sebagai pedoman hidup manusia tidak berada dalam hukum pidana, namun di luar hukum pidana

n Hukum pidana tidak memuat norma, tetapi hanya berisi sanksi pidana belaka.

n Oki, pencurian tidak dikatakan “MELANGGAR Pasal 362 KUHP” akan tetapi justru “SESUAI dengan Pasal 362 KUHP.

Jenis-jenis Tindak Pidana

n Kejahatan — Pelanggaran

n Delik formil (perbuatan yang dilarang: 362) — Delik materiel (akibat yang tidak dikehendaki: 338)

n Commissionis (pelanggaran larangan/362,372,378), Omissionis (pelanggaran perintah/522,531), Commissionis per Omissionen Commissa (pelanggaran larangan dg tidak berbuat/194)

n Dolus (310,338) — Culpa (359,360)

n Aduan (284,310) — Bukan Aduan (362,338)

Hubungan Kausalitas

n Dalam tindak pidana, muncul adanya “akibat” (adanya perubahan di dunia luar) yang dapat berupa pembahayaan atau perkosaan thd kepentingan hukum.

n Munculnya “akibat tertentu” menjadi penting, terutama dalam pembagian delik formil dan delik materiel. Dalam delik formil, akibat hanya accidentalia. Dalam delik materiel, akibat merupakan essentalia, jika tidak ada akibat, maka delik materiel tidak ada/hanya sebagai percobaan (misal: 338 tetapi tidak mati)

n Hubungan sebab akibat (kausalitas) selain sangat penting dalam delik materiel, juga menjadi hal penting dalam delik-delik yang dikualifikasi oleh akibat. Misal: 187, 188, 194 (2), 195 (2), 333 (2 dan 4) 334 (2 dan 4), 351 (2 dan 3), 355 (2 dan 3).

n Dalam menetapkan sebab dari suatu kejadian, muncul teori kausalitas yang hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang

Teori-teori Kausalitas

n Teori equivalensi (Von Buri à van Hamel)

(aequivalentie-theorie/bedingungs-theorie/conditio sine qua non-theorie)

Tiap syarat/faktor adalah sebab, dan semua syarat/faktor nilainya sama dan sederajat. Kesulitannya, hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir.

Misal: pembuat pisau dan penjual pisau menjadi penyebab terjadinya pembunuhan.

n Teori Individualisasi

individualiserende-theorien (Birkmeyer)

Yang menjadi causa adalah faktor (bedingung) yang paling berpengaruh. Kesulitannya apabila semua faktor itu berpengaruh atau sifat dan corak dalam faktor-faktor itu tidak sama.

ubergewicht-theorie (Binding)

Sebab suatu perubahan (akibat) adalah identik dengan faktor ketidakseimbangan. Satu-satunya faktor sebagai penyebab utama adalah faktor terakhir yang menghilangkan keseimbangan itu. Kesulitannya: bagaimana menentukan faktor terakhir yang menyebabkan ketidakseimbangan?

Misal: seorang anak dihukum bapaknya masuk kamar dan dikunci. Muncul gempa, rumah roboh, anaknya mati karena tertimpa dinding.

n Teori Generalisasi

(adekwat)adaequaat-theorie/teori sobyektif (Von Kries)

Sebab adalah suatu peristiwa yang sepadan dengan akibat yang sebelumnya diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan oleh si pembuat. Misal: berkendaraan cepat, kemudian menabrak orang sampai mati.

nachttraglicher prognose/teori obyektif (Rumeling)

Sebab adalah faktor obyektif yang diramalkan dari serangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolok ukur faktor obyektif adalah ilmu alam, sesudah terjadinya delik. Misal: orang disuruh untuk mendaki Merapi, tiba-tiba Merapi meletus. Orang tersebut mati karena wedhus gembel.

Kausalitas pada Delik Commissionis per Omissionen Commissa

n Pada dasarnya, sesorang tidak mungkin menimbulkan akibat jika orang “tidak berbuat” (sebagaimana dalam ilmu alam).

n Namun seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebagai sebab apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.

n Oleh karena itu, “tidak berbuat” bukan berarti tidak berbuat sama sekali, namun dia “tidak berbuat sesuatu yang diharapkan/diwajibkan”.

Sifat Melawan Hukum
(onrechtmatig, unrecht, wedderechtelijk)

n Apakah sifat melawan hukum itu?

à tanpa hak sendiri (zonder eigen recht) [Hoogeraad]

à bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht) [Noyon]

à bertentangan dengan hukum obyektif

(tegen het objectie recht) [Simon]

n Kadangkala sifat melawan hukum diartikan “jika perbuatan itu masuk dalam rumusan undang-undang”.

à tidak salah, tetapi tidak semua perbuatan yang memenuhi rumusan delik disebut melawan hukum, misal algojo yang menembak mati terpidana mati (ada alasan pembenar)

n Sifat melawan hukum yang formil apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang. Sifat melawan hukumnya dapat hapus hanya berdasarkan undang-undang.

n Sifat melawan hukum yang materiel apabila perbuatan melawan hukum atau tidak, tidak hanya berdasar pada aturan tertulis, namun juga melihat berlakunya hukum yang tidak tertulis.

n Sifat melawan hukum yang formil, di Indonesia tidak dianut lagi, sebagaimana disepakati dalam Seminar Hukum Nasional 1963, dan dalam RUU KUHP 2008 Pasal 1 (3) [asas legalitas materiel].

n Sifat melawan hukum yang materiel dalam fungsinya yang negatif: mengakui adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.

n Sifat melawan hukum yang materiel dalam fungsinya yang positif: menganggap bahwa suatu perbuatan tetap sebagai delik, meskipun tidak diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan juga dengan ukuran-ukuran lain di luar undang-undang.

Misal: pembunuhan karena alasan carok di suatu daerah?

Rumusan “sifat melawan hukum”
dalam KUHP

n Melawan hukum: 167, 168, 335 (1), 522, 378 [HR: melawan hukum=tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu.] 522 [HR: melawan hukum=tanpa alasan yang wajar tidak datang, padahal yang bersangkutan wajib menghadap]

n Tanpa mempunyai hak untuk itu: 303, 548, 549

n Tanpa izin: 496, 510

n Dengan melampaui kewenangannya: 430

n Tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum (429)

Wahndelict/Putativdelict

jika seseorang mengira telah melakukan tindak pidana, namun perbuatannya bukan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum.

Kesalahan

n Dipidananya seseorang tidak cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (sifat melawan hukum), tetapi harus ada juga unsur kesalahan dalam diri pelaku (subjective guilt).

n Berlaku asas culpabilitas, (keine strafe ohne schuld/geen straf zonder schuld/nulla poena sine culpa) bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana tanpa adanya kesalahan. Lihat RUU KUHP Pasal 37.

n Kesalahan merupakan salah satu problem/masalah pokok dalam hukum pidana (trias dalam hukum pidana), di samping sifat melawan hukumnya perbuatan dan sanksi pidana.

n Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari (Jan Remmelink). Kesalahan ini dapat disamakan dengan “pertanggungjawaban pidana”.

n Maurach (Jerman): Tatverantwortung: tiada kesalahan namun tetap bertanggungjawab atas tindakan itu. Orang gila tidak bersalah, namun dapat dijatuhi tindakan (maatregel) berupa penempatan di RS jiwa.

n Asas kesalahan tidak tercantum dalam KUHP (WvS), karena pandangan tentang schuld (kesalahan) baru muncul pada tahun 1916. Sebelumnya, hukum pidana hanya menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya (Daadstrafrecht/Erfolgstrafrecht) sebagai akibat dari pengaruh ajaran Erfolgshaftung dari ajaran hukum kuno (hukum kanonik) versari in re illicita (seseorang bertanggung jawab atas semua akibatnya tanpa melihat hubungan batin pelaku dengan akibatnya).

n Namun demikian, hukum pidana dewasa ini tetap mengambil sikap sebagai Daad-Dadertrafrecht (Tat-Taterstrafrecht), yang menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya dan orang yang melakukan tindak pidana.

n Dalam tradisi hukum Anglosaxon, kesalahan sebagai salah satu asas penjatuhan pidana muncul dalam maxim “actus non facit reum, nisi mens sit rea=an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty” atau disingkat mens rea/guilty mind (sikap batin jahat si pembuat).

n Hubungan kesalahan dengan kehendak bebas: indeterminisme/free will/qadariyyah, determinisme/unfree will/jabariyyah?

n Bentuk kesalahan: kesengajaan (dolus, opzet, intention) dan kealpaan/ketidaksengajaan (culpa, negligence)

n Pengertian kesalahan secara psikologis: kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psikologis antara pembuat dengan perbuatannya. Hubungan itu bisa kesengajaan (=menghendaki perbuatan) atau kealpaan (tidak menghendaki perbuatan). Hanya digambarkan keadaan batin pembuat.

n Pengertian kesalahan secara normatif: kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian ini dari luar tentang hubungan antara pembuat dengan perbuatannya.

Unsur-unsur Kesalahan

n Adanya kemampuan bertanggung jawab dalam diri pembuat (Zurechnungsfahigkeit/Schuldfahigkeit)

n Hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, berupa kesengajaan atau kealpaan

n Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

Jika ketiga-ketiganya terpenuhi, maka seseorang dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana

Kesimpulan

Kemampuan Bertanggung Jawab
(Zurechnungfahigkeit)

n Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat mampu bertanggung jawab

n Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan jika ia tidak mampu bertanggung jawab

n Oleh karena itu, kemampuan bertanggung jawab tidak mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan à sikap dualistis

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab jika: (Memorie van Toelichting)

n tidak ada kebebasan memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang

n karena suatu keadaan, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya

Pasal 44

n Tidak memuat kemampuan bertanggung jawab

n Memuat suatu alasan yang mengakibatkan tidak dapat bertanggung jawab, yaitu cacat jiwa

n Memuat syarat-syarat kemampuan bertanggung jawab secara negatif

n Sistem yang dipakai dalam KUHP untuk menentukan tidak dapat bertanggung jawab adalah diskriptif-normatif.

n “Deskriptif” karena gambaran keadaan jiwa digambarkan apa adanya oleh psikater

n “Normatif” karena hakim kemudian menilai berdasarkan pemeriksaan psikater.

Tidak mampu bertanggung jawab sebagian:

n Kleptomanie

n Pyromanie

n Claustrophobie

n Punya perasaan senantiasa dikejar-kejar

n Kasus Sumanto?

n Mabuk karena minuman keras?

n Keraguan terhadap kemampuan bertanggung jawab tersangka/terdakwa?

RUU KUHP (Pasal 38)

n Strict liability (pertanggungjawaban pidana ketat)

n Vacarious liability (pertanggungjawaban pidana pengganti)

Kesengajaan (dolus, opzet)

n Kesengajaan merupakan salah satu bentuk dari unsur kedua dalam kesalahan (hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya)

n Arti kesengajaan (MvT): menghendaki dan mengetahui (willens en wetens)= kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu.

Teori Kesengajaan

n Teori kehendak (wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (von Hippel, Simons)

n Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie)

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya (Frank)

Corak Kesengajaan 1:
Kesengajaan dengan maksud

n Pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang

Corak Kesengajaan 2:
Kesengajaan dengan sadar kepastian

n berakibat yang dituju

n akibat yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan; Kasus Thomas van Bremenhaven)

Corak kesengajaan 3:
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan
(dolus eventualis/sengaja bersyarat)

n Ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi

n Contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.

Teori Apa Boleh Buat
(in Kauf nehmen theorie)

n Dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan, si pembuat menetapkan dalam hatinya bahwa ia menghendaki perbuatan yang dilakukan, meski akan ada akibat yang tidak diharapkan

n Akibat itu sebenarnya tidak ia kehendaki, atau bahkan takut akan ada kemungkinan timbulnya akibat itu, namun jika akibat itu muncul, apa boleh buat dia berani menerima resiko, bertanggung jawab atas akibat yang mungkin timbul.

n Dengan teori ini, tidak perlu lagi membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Prof. Sudarto)

Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos)

n Kesengajaan berwarna: untuk adanya kesengajaan, pembuat menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang (Zevenbergen, Mulyatno)

n Kesengajaan tidak berwarna: cukuplah si pembuat menghendaki perbuatan yang dilarang itu, tanpa perlu tahu bahwa perbuatan itu terlarang/melawan hukum (Jonkers).

Macam-macam kesengajaan

n Aberratio ictus: seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.

n Dolus premeditatus: dolus dengan rencana terlebih dahulu (353, 340, 342) >< dolus repentinus

n Dolus determinatus: kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.

n Dolus indeterminatus: kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misal menembak segerombolan orang.

n Dolus alternativus: kesengajaan dengan pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.

n Dolus directus: kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.

n Dolus indirectus: bentuk sengaja ini ada dalam Code Penal, misal dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil.

n Dolus antecedens/subsequens: melakukan tindak pidana secara culpa terhadap seseorang, yang ternyata ada rencana untuk melakukan tindak pidana terhadap orang tersebut.

n Dolus malus: seseorang dipidana jika ia sadar bahwa perbuatannya melawan hukum. Bentuk ini tidak dianut karena KUHP menganut sengaja tidak berwarna.

Kekeliruan/Kesesatan
(mistake, dwaling, error)

n Dalam ketidaksengajaan ada keadaan batin yang disebut kesesatan atau salah kira

n Bentuk kesesatan: kesesatan dalam hal peristiwa (error facti) dan kesesatan dalam hukumnya (error iuris)—bedakan dengan delik putatif: mengira bahwa perbuatannya melawan hukum, ternyata tidak)

n Error facti non nocet, error iuris nocet (Pasal 42 RUU KUHP 2008)

n Bagaimana jika error in objecto dan error in persona?

Kealpaan/kelalaian
(Culpa, Negligence)

n Sembrono, teledor, kurang hati-hati, kurang praduga

n kealpaan terletak antara sengaja dan kebetulan (MvT).

n Hazewinkel-Suringa: delik culpa merupakan delik semu (quasidelict), sehingga ada pengurangan sanksi pidana.

n Ada kesulitan dalam penentuan tindak pidana sebagai sengaja dengan sadar kemungkinan atau sebagai culpa.

n Terkadang culpa terlalu ringan jika diancam dengan pidana. Untuk mengatasi persoalannya, diajukan melalui ranah hukum yang lain, pidana à perdata. Misalnya karena kelalaiannya merusak barang miik orang lain. Cukup dengan gugatan perdata.

Jenis Culpa

n Kelalaian yang menimbulkan akibat (359, 360)

n Kelaialain yang tidak menimbulkan akibat (205, 409)

Sanksi

n Sanksi dalam hukum pidana dikenal dua macam: sanksi pidana (straf/punishment) misalnya pidana penjara, denda, dll; dan sanksi tindakan (maatregel/treatment) seperti rehabilitasi, pengusiran, dll.

n Istilah “pidana” lebih dipilih dalam hukum pidana Indonesia karena menunjukkan kekhususan ciri dan sifatnya.

n “Hukuman” merupakan istilah umum yang dipergunakan dalam lapangan hukum administrasi, pendidikan, agama, dsb.

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Prof. Sudarto)

Unsur/Ciri Pidana

n Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

n Pidana itu diberikan secara sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan.

n Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. (Barda&Muladi)

Concept of Punishment
(Alf Rose)

n Punishment is aimed at inflicting suffering upon the person upon whom it is imposed (pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan)

n The punishment is an expression of disapproval of the action for which it is imposed (pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku)

Menurut Alf Rose, bukan punishment:

n Tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan tetapi tidak merupakan pencelaan, misal: electric shock pada binatang dalam penelitian agar dapat diamati

n Tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan tetapi bukan penderitaan, misal: teguran, peringatan

n Tindakan yang tidak untuk penderitaan dan tidak untuk pencelaan, misal: dokter gigi yang mencabut pasien

Tujuan Pemidanaan
(Herbert L. Packer)

n untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah)

n untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar

Perbedaan pidana (straf/punishment)
dan tindakan (maatregel/treatment)

n Alf Rose: harus didasarkan pada ada tidaknya unsur pencelaan, tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur penderitaan

n Herbert L. Packer: tingkatan kekejaman/ketidakenakan bukan ciri yang membedakan pidana dan tindakan, tetapi lebih pada tujuan dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan. Treatment bertujuan untuk keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan.

n Ruslan Saleh: batas pidana dan tindakan secara teorits sulit ditentukan, karena pidana sendiri pun banyak hal mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki.

Teori Pembanding

n Hulsman: pidana bukanlah suatu penderitaan atau nestapa. Hakikat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen), yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku dan penyelesaian konflik.

n Hoefnagels: pidana bukan pencelaan (censure), penjeraan (discouregement), atau penderitaan (suffering), namun merupakan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah dirumuskan oleh undang-undang, sejak penahanan sampai penjatuhan vonis. Pidana merupakan proses waktu.Pemberian sanksi merupakan proses pembangkitan semangat (encouregement) agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan suatu norma atau undang-undang yang berlaku

Teori Pemidanaan (1)

n Teori Absolut (retributive theory): pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan/tindak pidana. Pidana bukanlah alat untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi mencerminkan keadilan. Penganut: Immanual Kant, Hegel.

Pembagian Teori Retributif
(Nigel Walker)

Pembagian Teori Retributif
(John Kaplan)

Teori Pemidanaan (2)

n Teori relatif/teori perlindungan masyarakat/utilitarian theory: pidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut keadilan, namun digunakan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan bertujuan tertentu yang bermanfaat.

Tujuan Pemidanaan dalam RUU KUHP (Pasal 54)

n Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

n Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

n Menyelesaikan konflik yang ditumbulkan karena tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangakn rasa damai dalam masyarakat’

n Membebaskan rasa bersalah pada terdakwa.

n Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Pidana dalam RUU KUHP

n Tujuan pemidanaan

n Pedoman pemidanaan

n Pengampunan hakim (rechtelijkpardon)

n Modifikasi pidana karena ada perubahan perilaku narapidana atau karena ada perubahan UU

n Elastisitas pemidanaan

n Pidana mati menjadi jenis pidana khusus

n Penambahan jenis pidana baru, yaitu pidana pengawasan dan kerja sosial (pidana pokok), serta pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat (pidana tambahan)

n Dikenal adanya tindakan (matregel) bagi pelaku yang tidak dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan karena gangguan jiwa

n Membedakan pidana dan tindakan bagi anak

n Ada penundaan pidana mati

n Mengenal minimum khusus pidana

n Pengkategorian pidana denda

n Menambah alasan memperingan pidana

Alasan Penghapus Pidana

n Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44)

n Daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48 (setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan)

n Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat (noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2)

n Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar